Terbang adalah bentuk praktik spiritual yang melampaui batas bumi.
Setiap perjalanan ke Kuala Lumpur mengingatkan saya pada sebaris Sutra Shurangama: "Semua makhluk berakal, sejak dahulu kala, telah salah mengira diri mereka sebagai objek." Orang-orang selalu berpikir mereka terus-menerus menuju ke suatu tempat, mengejar sesuatu, tetapi sebagian besar waktu, mereka sebenarnya sedang mencari diri mereka sendiri. Dan saya mendapati bahwa selama berjam-jam terbang ke Kuala Lumpur, pikiran saya perlahan-lahan menjadi tenang. Ini bukan sekadar perjalanan melintasi perbatasan, tetapi lebih seperti proses "kembali dari luar ke dalam."
Kabin adalah pusat dharma, udara adalah tempat konsentrasi.
Saat pesawat lepas landas, saya selalu suka bersandar di jendela dan memandangi lautan awan yang bergulung-gulung. Menatap awan dari atas, seolah-olah dunia telah menanggalkan lapisan kehidupan duniawinya, hanya menyisakan putih bersih dan kekosongan. Adegan ini mengingatkan saya pada kata-kata seorang guru Zen: "Di gunung yang kosong, tak seorang pun terlihat, tetapi suara manusia terdengar; cahaya pantulan memasuki hutan lebat, menerangi lumut kembali." Di pesawat, sinyalnya lebih sedikit, kebisingannya lebih sedikit, pilihannya lebih sedikit, dan lebih banyak kesempatan untuk menyendiri.
Saya tidak mendengarkan musik atau menonton film; saya hanya menikmati pengamatan yang tenang. Langkah kaki pramugari, tangisan bayi yang sesekali terdengar, gemerisik gerobak makanan... suara-suara halus ini membentuk "ritme ala Zen." Seperti yang dikatakan "Sutra Samadhi Zen", "Melihat warna dan mendengar suara, kenali mereka sebagaimana adanya." Ini bukan tentang menolak dunia luar, melainkan mengamati momen saat ini, melihat pantulan pikiran dalam segala fenomena.
Kuala Lumpur adalah mimpi sekaligus cermin
Bagi saya, Kuala Lumpur lebih dari sekadar tempat; ia seperti cermin, memantulkan emosi saya yang tak terucapkan. Kota ini penuh kontradiksi, namun juga perpaduan harmoni yang semarak, di mana gedung pencakar langit berpadu dengan kuil-kuil kuno, suara lantunan ziarah Islam berpadu dengan aroma dupa kuil-kuil Cina, dan makanan cepat saji urban berpadu dengan restoran vegetarian.
Saya ingat perjalanan pertama saya ke Kuala Lumpur: untuk berpartisipasi dalam acara pertukaran budaya Buddha. Pesawat mendarat saat senja, matahari terbenam keemasan terpantul di luar jendela kabin, dan semuanya terasa hangat dan indah. Saat saya menyeret koper memasuki koridor KLIA, saya diliputi rasa keakraban yang tak terjelaskan, seperti kembali ke kampung halaman yang belum pernah saya lihat sebelumnya.
Kuala Lumpur mengajari saya untuk memperlambat langkah. Saya belajar untuk berhenti terburu-buru, untuk mendengarkan dan menghormati di persimpangan budaya ini, dan untuk menemukan momen-momen hening bak bunga teratai di tengah hiruk pikuk yang semarak.
Terbang lebih dari sekadar bergerak; ini tentang mengubah perspektif.
Terbang lebih dari sekadar berpindah dari titik A ke titik B. Ini adalah kesempatan untuk mengubah perspektif, kesempatan untuk melarikan diri sejenak dari rutinitas kehidupan sehari-hari. Saat saya melayang di antara awan, pikiran saya menjadi lebih ringan, dan banyak kekhawatiran serta kecemasan yang sebelumnya terjerat pun memudar. Hal ini mengingatkan saya pada ajaran Buddha tentang "pikiran yang tak berdiam": Hanya ketika pikiran terbebas dari keterikatan pada penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, sentuhan, atau dharma, kebijaksanaan dan welas asih dapat muncul dengan bebas.
Romansa Kuala Lumpur bukan terletak pada pemandangannya yang indah, melainkan pada kemampuannya untuk terhubung kembali dengan akar saya, melepaskan masa lalu, dan memulai yang baru. Setiap kali saya terbang ke sini, entah untuk kuliah, studi banding, mengunjungi teman, atau sekadar mencari alasan untuk bernapas, saya selalu kembali dengan sesuatu—mungkin pengingat singkat dari seorang pejalan kaki, senyum pemilik restoran vegetarian, atau bahkan hujan pagi.
Fragmen-fragmen ini, meskipun tidak perlu didokumentasikan secara mewah, cukup untuk meneguhkan kembali keyakinan saya, suatu malam, bahwa setiap perjalanan hidup, jika dijalani dengan sepenuh hati, adalah sebuah praktik spiritual.
Dari tepi peta kembali ke pusat hati
Terkadang saya bertanya-tanya, mengapa Kuala Lumpur?
Mungkin karena letaknya di tepi peta, tidak seramai Tokyo atau seramai Bangkok. Samar, longgar, dan tenang, tetapi justru karena itulah, Kuala Lumpur memungkinkan pendekatan dan pencelupan yang bertahap. Layaknya praktik Zen, ini bukan tentang pencerahan mendadak, melainkan tentang pengembangan diri yang bertahap. Hari-hari berlalu, sedikit demi sedikit, dan di dalamnya, orang-orang bertransformasi secara diam-diam.
Setiap kali saya meninggalkan Kuala Lumpur, saya menatap langit itu. Ya, memang seperti langit kota-kota lain, tetapi di mata saya, langit itu menyimpan begitu banyak momen dan percakapan penting dalam hidup saya, bagaikan mutiara di peta jiwa saya.
Kesimpulan: Tujuan sebuah penerbangan tak pernah berada di sisi yang berlawanan.
Kita semua berpikir kita terbang demi tujuan, tetapi terkadang, hal yang paling berharga adalah penerbangan itu sendiri. Karena perjalanan ini memungkinkan kita untuk sejenak melepaskan diri dari keterikatan duniawi dan belajar bagaimana merenungkan diri dalam keterbatasan ruang dan waktu.
Itulah mengapa saya mengatakan setiap penerbangan ke Kuala Lumpur adalah hari yang romantis. Bukan karena kotanya sendiri begitu romantis, tetapi karena perjalanan ini memungkinkan saya menemukan kembali kelembutan dan keluwesan hidup, mengingatkan saya untuk hidup dengan lembut, berjalan dengan sadar, dan menjalani hidup dengan pikiran Zen.
Dalam penerbangan, di luar jendela ada awan yang mengambang, di dalam ada saya. Hening dan tanpa kata, semuanya terasa tepat.
#PemandanganDiJalan #PerjalananMalaysia #PanduanFotografi #DestinasiTahunBaru2025
Lihat teks asliDi wilayah atau bahasa pilihan Anda, tagar Momen Trip ini tidak akan mengarahkan Anda ke halaman tagar