Weihai: Tempat daratan berakhir dan lautan dimulai
Saat kereta mendekati ujung Semenanjung Jiaodong, angin laut yang asin dan amis tiba-tiba menguat, menerjang jendela dengan kekuatan yang tak tergoyahkan, menghantam dinding—inilah Weihai yang mengumumkan kehadirannya. Ia sama sekali tak menyerupai kota-kota air Jiangnan yang tenang, melainkan lebih seperti terumbu karang biru-kelabu, berulang kali dihantam dan dipoles hingga berkilau oleh ombak, terjepit diam-diam pada benturan terakhir antara daratan dan lautan.
Kegelapan menjelang fajar belum juga sirna, dan aku sudah berdiri di puncak tebing yang menyerupai gunung. Di bawahku, bebatuan hitam bergerigi bagai sendi-sendi terakhir bumi yang paling keras kepala, menjulur ke laut dalam. Angin adalah satu-satunya penguasa di sini, membawa deru ombak yang memekakkan telinga, melecut tumpukan salju dari jurang biru kelam, menghantamkannya ke dinding batu, menghancurkannya menjadi kabut putih asin yang kabur. Di cakrawala, cahaya merah keemasan yang menyala tiba-tiba merobek awan kelabu di cakrawala, seketika menerangi seluruh timur. Cahaya, bagai emas cair yang membara, memercik di lautan yang bergelombang, tebing-tebing terjal, bahkan prasasti batu kuno di bawah kaki kami, bertuliskan "Ujung Dunia." Ia berdiri diam, bak penjaga gerbang yang lapuk, menyaksikan benua yang tiba-tiba berakhir dan samudra, dengan biru tua tak berbatas, mengumumkan awal dunia lain. Di bawah kaki kami terbentang ujung daratan, di hadapan kami awal samudra. Angin, bagai terompet, memainkan transisi abadi.
Dengan perahu menuju Pulau Liugong, air perlahan berubah dari kuning keruh di dekat pantai menjadi biru safir tua. Pulau yang rimbun ini menyerupai segel giok yang mengapung di atas ombak biru. Namun, sejarah telah mengukir jejaknya di sini. Memasuki Museum Perang Tiongkok-Jepang, suasana khidmat langsung membekukan angin laut yang asin. Sebuah jangkar besi besar, bernoda karat, menyerupai kerangka kapal yang tenggelam. Laras senapan yang dingin menunjuk diam-diam ke laut dan langit, moncongnya terukir asap yang mengepul. Di atas peta dan kertas telegraf yang menguning, tulisan tangan yang samar, namun cukup kuat untuk menembus kertas, diam-diam menceritakan tragedi dan penghinaan seabad yang lalu di tengah lautan yang bergejolak. Ujung jari menyentuh kaca dingin etalase, dan orang hampir dapat merasakan garam laut yang kental dan darah di kerah baju para prajurit Armada Beiyang. Melangkah keluar, angin laut tetap terasa, burung-burung camar menari-nari di udara, tetapi hanya tatapan khidmat patung seorang komandan Armada Beiyang yang menembus ruang dan waktu, mengingatkan setiap pengunjung masa depan akan tenggelamnya hati yang menyayat hati di bawah ketenangan biru ini.
Beban sejarah diencerkan oleh angin di jalan raya pesisir menuju Gunung Maotou. Jalan raya itu berkelok-kelok seperti pita yang mengalir, melilit pegunungan zamrud. Di satu sisi, lereng hijau terjal dipenuhi pohon pinus dan suara ombak. Di sisi lain, tebing terjal terjun ke laut dalam, tempat ombak yang bergelombang menderu dan menghantam karang yang bergerigi, mengaduk tumpukan buih salju. Bersandar di pagar Dek Observasi No. 2, pemandangan tiba-tiba terbuka: dua bukit bulat sempurna menjorok ke laut, menyerupai kucing-kucing raksasa yang berjongkok dan menatap lautan, ekspresi mereka tenang sekaligus waspada. Di bawah nila yang tak terduga, ombak menerjang dan surut di antara bebatuan, meninggalkan jejak renda seputih salju. Angin laut berhembus tanpa hambatan, mengacak-acak pakaian, membawa serta aroma laut yang murni, bebas, dan liar yang seakan menghalau semua debu yang terkumpul dari jiwa.
Senja mewarnai Tanjung Yandun dengan lembut. Rumah-rumah rumput laut yang unik terbungkus dalam tabir keemasan matahari terbenam. Di atap-atap yang tebal dan rendah, tumpukan rumput laut cokelat tua membentuk pola-pola bergelombang yang aneh, seperti tempat tinggal para peri kuno yang tumbuh langsung dari laut. Angsa-angsa telah lama kembali ke utara, dan teluk kini setenang cermin, memantulkan langit senja yang menyala-nyala. Beberapa perahu nelayan yang kembali berlabuh dengan tenang di antara ombak keemasan yang dangkal, tiang-tiangnya membentuk siluet ramping. Di kejauhan, alang-alang di lahan basah Danau Swan beriak tertiup angin senja, berdesir lembut. Udara dipenuhi aroma asin khas pelabuhan nelayan, perpaduan rumput laut, ikan, dan samar-samar aroma solar. Duduk di undakan batu di tepi pantai, saya menyaksikan matahari terbenam, bagai emas cair, terbenam di cakrawala. Beberapa burung camar yang kembali meluncur di atas ombak keemasan, sayap mereka bermandikan cahaya kemerahan matahari terbenam. Waktu mengalir lambat di sini, bagai air pasang yang naik perlahan di atas lumpur.
Pada malam terakhirku, aku duduk sendirian di bangku tepi laut di Taman Weihai. Sebuah patung besar yang dibingkai dalam sebuah lukisan berdiri diam di tengah malam, membingkai garis samar Pulau Liugong di tepi seberang dan lampu-lampunya yang berkelap-kelip, bagai lukisan tinta modern yang mengalir, tergantung di antara laut dan langit. Dalam kegelapan, ombak menghantam tanggul dengan suara yang dalam dan konstan, denyut gempa bumi dahsyat yang konstan. Deru ombak yang menjulang tinggi bak puncak gunung di siang hari, keremangan Pulau Liugong, kemegahan Gunung Maotou, kelembutan Yandunjiao, aroma yang tercium dari pasar malam... semua menyatu dalam malam yang tak berbatas dan deru ombak.
Weihai, kota yang mempertemukan daratan dan lautan, menyingkapkan romansanya bukan dalam seni kerajinan yang indah, melainkan dalam keaslian yang murni dan murni, terjalin dengan kekasaran dan kelembutan. Keberanian mereka yang menerjang ombak dari tebing, desiran angin laut di atap rumput laut berusia seabad, manisnya hidangan laut kukus yang lezat, dan manisnya buah ara yang retak. Kota ini memungkinkan Anda berdiri di tepi benua, merasakan hembusan napas samudra yang tak terbatas. Di tengah beban sejarah dan keagungan alam, Anda menemukan keyakinan akan landasan, hati yang terukir di birunya laut. Melampaui angin laut yang asin dan aroma manis buah ara, bagasi keberangkatan Anda dipenuhi gema abadi ombak yang terukir di karang—sebuah rekonsiliasi luar biasa yang dicapai dalam pergulatan antara daratan dan lautan.