Di Kuala Lumpur, Menemukan Pelangi dan Keimanan
Saat tahun 2024 hampir berakhir, saya melakukan perjalanan solo dari Bangkok ke Kuala Lumpur, Malaysia, untuk perjalanan singkat selama tiga hari dua malam.
Ini adalah perjalanan tanpa banyak ekspektasi. Saya hanya ingin menjejakkan kaki di kota yang belum pernah saya kunjungi, melihat langit yang berbeda, menghirup udara yang berbeda, dan kemudian—secara diam-diam mendekatkan diri sedikit lebih dekat dengan dunia ini.
Hari 1|Langkah Kota dan Cahaya Malam
Setelah tiba di Kuala Lumpur, saya check-in di Eaton Residences KLCC yang terletak di pusat kota. Daya tarik utama dari tempat ini adalah kolam renang infinity di atap dengan pemandangan jauh Menara Kembar Petronas dan Menara KL.
Saat saya melangkah ke dalam kamar, jendela memperlihatkan pemandangan kota yang luas. Diam-diam memandang ke bawah, rasanya seperti saya sudah mendekatkan diri dengan kota ini.
Setelah istirahat singkat, saya pergi sendiri ke Batu Caves yang terkenal.
Sejujurnya, Batu Caves tidak se"sakral" yang saya bayangkan. Tangga warna-warni terlihat seperti mimpi dalam foto, tetapi di lokasi sebenarnya cukup berisik, berantakan, dengan banyak sampah, dan monyet-monyet yang berkeliaran mencuri makanan.
Namun, mengikuti kebiasaan seorang pelancong, saya menaiki 272 anak tangga pelangi satu per satu. Meski keringat terasa lengket, saya merasakan sedikit kepuasan—karena saya sudah di sini, tidak meninggalkan penyesalan adalah ketulusan paling dasar dalam perjalanan.
Kembali ke kota saat senja, saya pergi ke Menara Kembar Petronas untuk menangkap pemandangan malam, lalu makan malam di ALVA Sky Dining di lantai 99. Duduk sendirian di dekat jendela, memandang lampu-lampu kota. Saya suka momen seperti ini—sedikit kesepian, tetapi lebih bebas.
Kembali ke Eaton Residences, saya naik ke kolam renang di atap. Tidak banyak orang di malam hari. Saya berendam di air sambil Menara Kembar yang jauh berkilauan di malam yang samar. Kota ini seolah berbisik, dan saya mendengarkan dengan diam-diam.
Hari 2|Baptisan Ganda Keimanan dan Selera
Pada hari kedua, saya mengatur tur masjid. Pemberhentian pertama adalah Masjid Putra di Putrajaya, yang terlihat seperti istana mimpi yang mengapung di atas danau. Kubah merah muda yang terpantul di danau di bawah langit biru pagi begitu lembut hingga membuat saya terpesona.
Tidak jauh dari sana, Masjid Maroko kecil tetapi indah—lengkungan, ubin, air mancur, setiap inci dipenuhi dengan puisi eksotis. Saya tinggal di sana cukup lama, tidak melakukan apa-apa selain duduk diam.
Di sore hari, saya pergi ke Masjid Sultan Salahuddin, favorit saya. Masjid ini megah namun lembut, dengan kubah biru dan putih besar yang membawa kedamaian. Mengenakan jubah, saya masuk ke aula utama, hanya dikelilingi oleh suara angin dan lantunan rendah, seolah-olah seluruh diri saya diselimuti kesucian.
Kembali ke kota saat senja, saya mencicipi platter durian legendaris di Bukit Bintang. Musang King, D24, XO—setiap gigitan terasa seperti tantangan bagi selera saya.
Untuk makan malam, saya memilih Bak Kut Teh di Pin Qian Ba, meminum semangkuk sup herbal gelap yang kaya, dan memesan cakwe serta pancake renyah. Di jalan yang ramai di malam hari, saya duduk sendirian di antara kerumunan makan, namun saya sama sekali tidak merasa kesepian.
Kesimpulan|Di Penerbangan Kembali ke Taiwan, Saya Diam-Diam Mengucapkan Selamat Tinggal pada Diri Sendiri
Meninggalkan Kuala Lumpur, saya terbang kembali ke Taiwan untuk singgah sebentar sebelum kembali ke Amerika Serikat. Perjalanan ini seperti miniatur tahun 2024 saya—naik turun, kadang-kadang kacau, tetapi juga penuh kejutan.