Perjalanan ke Sri Lanka
## Kehijauan Puitis Melintasi Ruang dan Waktu: Perjalanan Sepuluh Hari Melintasi Sri Lanka
Saat fajar, Danau Kandy diselimuti kabut putih susu, sementara gumaman penduduk Sinhala dan dentingan lonceng Kuil Relik Gigi bergema di pegunungan. Pulau ini, yang dikenal sebagai "Air Mata Samudra Hindia", merangkai kisah epik yang memadukan alam dan manusia dengan perkebunan teh zamrudnya, kota-kota batu berwarna merah oker, dan garis pantai biru kehijauan.
### 1. Simfoni Alam dan Manusia
Matahari terbit di Batu Sigiriya adalah dialog yang memukau antara ruang dan waktu. Batu setinggi 200 meter ini dulunya adalah istana di langit dari abad ke-5. Saat Anda mendaki, ujung jari Anda menyentuh batu pasir yang telah lapuk selama ribuan tahun, dan Anda hampir dapat mendengar gema Kekaisaran Sinhala kuno. Di bawah cahaya pagi, sisa-sisa lukisan dinding Apsara di permukaan batu berkilauan, lipatannya menyimpan rahasia peradaban yang telah hilang. Dari puncak, hutan membentang bagai ombak hijau hingga cakrawala, hanya monyet-monyet yang melompat di antara dinding-dinding yang runtuh, menghidupkan keheningan.
Di Panti Asuhan Gajah Pinnawala, waktu mengalir lebih lembut. Siang hari, gajah-gajah berbaris dengan langkah mantap menuju sungai, anak-anak gajah mereka mencipratkan air dengan belalai mereka, menciptakan pantulan seperti pelangi. Di sini, gajah-gajah tak lagi terbebani kerja keras, kebebasan mereka mewujudkan penghormatan orang Sri Lanka terhadap alam. Yang lebih memukau lagi adalah bengkel kertas dari kotoran gajah, tempat sampah disulap menjadi buku catatan yang indah, dan bahkan udara dipenuhi aroma lembut serat tumbuhan.
### 2. Gema dari Dalam Sejarah
Benteng Galle saat senja merupakan bukti nyata sejarah kolonial. Mercusuar putih bergaya Belanda dan reruntuhan benteng Portugis berpadu dalam nuansa matahari terbenam, sementara jilbab dan sari Muslim berkibar di jalanan berbatu. Para remaja setempat menerbangkan layang-layang dari tembok kota, tali layang-layang mereka menghubungkan benteng abad ke-16 dengan kafe-kafe abad ke-21. Bekas luka kolonialisme, yang akhirnya dihaluskan oleh angin laut, menjadi lapisan budaya.
Malam di Kuil Relik Gigi di Kandy adalah teater iman yang mengharukan. Selama parade Festival Gigi Buddha, gajah-gajah berhiaskan emas dan perak perlahan-lahan membawa peti relik. Para penari mengibaskan rok mereka mengikuti alunan genderang dan musik, seperti burung merak yang membentangkan bulunya. Para umat berjalan tanpa alas kaki, memegang bunga teratai. Wajah mereka, yang diterangi cahaya lilin, bertumpang tindih dengan siluet para peziarah yang tergambar dalam mural dari ribuan tahun yang lalu. Sungai iman tak pernah kering.
### III. Puisi Kehidupan yang Liar
Fajar di Taman Nasional Yala adalah detak jantung alam liar. Jip-jip meluncur di atas tanah merah yang basah kuyup. Seekor macan tutul Ceylon melesat menembus kabut pagi bagai kilatan petir keemasan. Kerbau-kerbau bergerak perlahan menyusuri rawa, dengan burung kuntul bertengger di punggung mereka, membentuk keseimbangan ekologis yang rumit. Saat kereta mencapai garis pantai, ombak Samudra Hindia tiba-tiba menerjang. Jejak kaki gajah terukir dalam di pasir, lalu dihaluskan oleh pasang surut, bagai lukisan pasir alami.
Sore hari di kereta laut dipenuhi dengan realisme magis. Pintu gerbong selalu terbuka. Angin laut yang asin mengangkat ujung sari. Penduduk setempat menawarkan manisnya kelapa keemasan dan rasa samosa yang tajam. Ketika rel kereta api hampir menutupi garis pantai, ombak praktis menerpa jendela, dan pemandangan mimpi "Spirited Away" menjadi kenyataan. Anak-anak berlarian mengejar kereta, tawa mereka terbawa angin laut ke perkebunan teh di awan.
### 4. Kerutan Waktu dalam Aroma Teh
Perkebunan teh Nuwara Eliya menyimpan mimpi-mimpi tentang era Inggris yang telah berlalu. Wisteria menghiasi fasad bangunan-bangunan bergaya Victoria, dan kartu pos dari kantor pos merah muda berisi ucapan selamat yang melampaui ruang dan waktu. Di Pabrik Teh Mackwoods, ujung jari para pemetik teh berkibar bak kupu-kupu, daun teh yang baru dipetik terhampar di atas nampan bambu, dan ruang fermentasi dipenuhi aroma kayu yang kaya. Menyeruput teh hitam Ceylon sambil menyaksikan lautan awan bergulung di atas pegunungan, akhirnya saya memahami makna "teh bagaikan amber, waktu bagaikan krim."
Saat saya beranjak pergi, pasar permata di Kolombo berkilauan. Birunya safir, lingkaran cahaya lembut batu bulan, dan energi mata kucing yang semarak mewujudkan sifat multifaset negeri ini—merangkul ketangguhan bangsa yang terlahir kembali dari perang, namun tetap mempertahankan kemurnian seorang anak. Saat petugas bea cukai membubuhkan cap bunga teratai di paspor saya, saya teringat kata-kata seorang penduduk asli Kandy yang sudah tua: "Sejarah kami tertulis di atas daun lontar, dan masa depan kami terletak di atas ombak." Tanah ini telah mengajariku melihat kehidupan baru di tengah reruntuhan dan mendengar keabadian di tengah kekacauan.